Katarak or No Katarak


Tadi pagi gw akhirnya ke dokter mata karena mata gw makin berasa gak enak. Kalau buat liat tulisan di laptop, mesti mincingin mata dulu biar jelas. Liat tulisan di HP susah bener cari titik fokus. Bahkan untuk mencermati nomor bis di jalanan aja susah.


Ternyata, dokter menemukan ada baret di kornea bagian bawah. Ini terjadi karena produksi air mata gw kurang, mata kering, sehingga mengedip aja tuh bikin gesekan. Obat hormon untuk kanker payudara yang gw minum tiap hari itu pun menyebabkan kondisi dry eyes. Solusinya? Pakai tetes mata seumur hidup. "Tidak boleh pakai *nst* ya," kata bu dokter.

Kejutan berikutnya adalah kedua mata gw udah katarak. Kiri grade 2, kanan grade 1 (out of 5 grades). Dokter kasih lihat di layar, lensa mata kiri gw udah banyak area putihnya. "Mata rasanya tuh kayak ngeliat dengan kaca berembun," jelas bu dokter. Aha, ini dia kayaknya nih yang gw rasakan selama ini. Penyebabnya usia, diabetes, minus tinggi, atau genetik. "Ini kayaknya sih genetik."

Sialnya nggak ada cara untuk mencegah grade katarak itu naik. "Grade bisa naik seiring bertambah usia. Kalau makin nggak enak untuk melihat, mengganggu aktivitas harian, satu-satunya jalan adalah operasi."

Ha ha ha. Maka kini akulah si pemudi jelang usia 45 tahun dengan katarak. Sungguh renta usia adalah nyata ya sodara-sodara sekalian 👀

Tapi eh tapi, ada rasa galau di hati. Bukannya nggak terima kalau "oh gw ada katarak", tapi lebih ingin memastikan sekali lagi. 

Maka tak lama setelah pertemuan dengan dokter ini, gw ambil LP (Libur Pengganti) khusus untuk berkelana dari dokter ke dokter. 

Dokter #2 (RS Mitra Cibubur) bilang: ini bukan katarak. Ini dia jelaskan sembari ambil buku tebel, kasih liat contoh-contoh mata katarak dll dsb. Puas? Belum wkwkw. Karena ini kan masih di RS umum, bukan di RS yang spesialis mata. Sementara dokter #1 kan ada di rumah sakit yang spesialis mata. 

Lalu gw cari-cari lagi, baiknya gw ke mana untuk lebih haqul yaqin lagi. Jadilah gw ke RS Mata SMEC. Satu, karena dia spesialis mata. Dua, karena kok lucu namanya ya ada Sabang Merauke. Tiga, karena dia ada di Jalan Pemuda, area yang cukup familiar sama gw. Jadilah cus kita ke sana. 

Dokter #3 (RS SMEC) kembali bilang: ini bukan katarak. Kata dia, kalau genetik, masa iya baru muncul ketika gw usia 40an begini. Lalu dia ambil replika bola mata, sembari menjelaskan dengan aneka peralatan ini dan itu untuk menjelaskan argumentasinya bahwa ini bukan katarak. Yang menurut gw patut dicatat dari Dokter #3 ini adalah dia tidak menjelekkan pendapat Dokter #1. 

Dia tanya juga, bagaimana proses pemeriksaan mata gw sama Dokter #1. Pas sama Dokter #1 itu mata disinar, sehingga pupil membesar, dan bisa diperiksa lebih teliti. Maka gw rikues itu juga ke Dokter #3, demi mendapatkan perbandingan yang apple to apple. Dia setuju, sembari memastikan ke gw tidak menyetir setelah ini karena pandangan akan bermasalah setelah tetes mata itu, mengingat pupil membesar. Nggak, kok, emang gak bisa nyetir ini wkwkwk. 

Setelah tetes mata, dia jelasin lagi. Kembali dengan replika bola mata, disenter ke sana ke mari, memberikan contoh ina dan itu, dan dia sampai di kesimpulan: nggak, ini bukan katarak. 

Kesimpulan saat ini: nggak keliatan katarak; tapi bisa saja menuju katarak karena ini perkara waktu saja. Kalau tidak ganggu, ya tidak usah operasi. Mungkin ini saatnya ganti lensa karena emang udah lama. Kacamata baca gw pun sudah jadi +1.5 nyam nyam.

Karena udah 2 lawan 1 maka kita ambil kesimpulan yang sama: bukan katarak. 

Comments

Popular posts from this blog

Konsul ke dr Evert

Kuning

Ini Dia Kata Dokter Bedah Onkologi (1)